Kisah Dibalik Foto Aylan Kurdi yang Mengguncang Dunia


Pada bibir pantai Turki, Kamis pagi, 3 September 2015, seorang polisi menangis. Tubuhnya yang menjulang tinggi, yang terpancak mematung, bergetar hebat. Matanya nanar menatap sesosok tubuh yang terbaring tertelungkup kira-kira tiga meter di depannya.

Tubuh tertelungkup ini tubuh anak-anak. Mungil. Dibungkus kaus merah, celana panjang biru, dan sepatu kain yang juga berwarna biru.

Namanya Aylan Kurdi. Dan pagi itu, ia telah menjadi almarhum dalam usia yang baru menginjak angka tiga. Dan polisi Turki itu, polisi pantai yang ternyata memilih untuk tetap disebut sebagai anonimus saja (meski belakangan media berhasil mengetahui namanya: Adil Demirtas), mengangkat tubuh Alyan yang telah dingin dan separuh kaku dengan hentakan isak yang semakin keras.

“Beginilah kejamnya perang. Tapi orang-orang masih saja suka berperang,” desisnya, seperti yang dikutip dari tribunnews.com

Kematian Aylan, juga kakaknya Ghalip, dan ibu mereka serta belasan anak dan orang dewasa lain setelah perahu yang mereka tumpangi terbalik dihantam badai di kawasan perairan lepas pantai Turki, Rabu, 2 September 2015, jelang tengah malam, menjadi puncak lain dari kisah-kisah mengenaskan yang melesat dari medan tarung di Suriah.

Perang, perebutan kekuasaan, penghilangan-penghilangan nyawa, menciptakan gelombang demi gelombang pengungsi. UNHCR mencatat, sampai sejauh ini, sebanyak 4 juta warga Suriah telah mengungsi ke berbagai negara.

Kebanyakan ke Turki dan Lebanon, tetangga terdekat, yang pemerintahnya memang membuka pintu paling lebar pada mereka.

Sebanyak 1,7 juta pengungsi tersebar di lokasi-lokasi pengungsian di Turki dan 1,2 juta di berbagai wilayah Lebanon.

Kemudian ada Jordania yang menampung sekitar 700 ribu pengungsi, Irak 300 ribuan, dan Mesir 150 ribuan.

Sisanya tersebar di tak kurang 22 negara, termasuk di Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. Di Eropa, pengungsi terbanyak ditampung oleh Jerman (110 ribuan) dan Yunani (90 ribuan).

Sedangkan di Afrika, mereka masuk ke Aljazair (25 ribuan). Para pengungsi juga diketahui sampai ke Kanada, Amerika Serikat, bahkan Argentina dan Brazil.

Hidup di tenda-tenda pengungsian di tanah yang asing tentulah jauh dari nyaman.

Terlebih-lebih, tidak semua negara (pemerintah dan warga negaranya) menerima kehadiran mereka.

Kebanyakan menerima dengan terpaksa, dan dalam kondisi ini, para pengungsi mendapatkan tekanan psikologis yang sangat berat.

Tak terkecuali di Turki. Dibandingkan negara-negara yang lain, kebijakan Turki memang terbilang lebih ramah. Tapi para pengungsi tetap tak bisa nyaman.

Pasalnya, tiap saat, mereka terancam oleh ISIS. Kelompok bersenjata ini mencoba memanfaatkan situasi untuk merekrut anggota-anggota baru. Bagai lepas dari mulut harimau, tapi masuk ke mulut buaya.

“Semakin lama, situasi semakin buruk. Semua yang kami impikan buyar. Kami tidak berani lagi bermimpi. Jika tidur, kami ingin cepat-cepat bangun karena di dalam mimpi pun kami dikejar-kejar oleh ketakutan yang lebih besar,” kata Abdullah Kurdi, ayah Aylan.

Bersama istrinya, Rahen, Abdullah membawa Aylan dan Ghalib lari dari kampung halaman mereka di Kobani, satu di antara kota di Suriah yang menjadi tempat berlangsungnya perang yang paling sengit.

Keempatnya menyeberang ke Turki, bergabung dalam satu gelombang pengungsi yang berjumlah kurang lebih 100 ribu orang.

“Belakangan kami merasa keselamatan kami semakin terancam. Bersama beberapa orang, kami berencana menyeberang ke Kanada. Saya punya beberapa keluarga di sana,” ucapnya.

Kita tahu upaya ini gagal. Belum jauh dari Turki, ombak besar mengadang dan menghempas perahu, menghancurkannya jadi keping-kepingan. Abdullah cepat terseret ke pantai dan selamat. Kenyataan yang ia sesali.

“Kenapa saya tidak ikut mati? Sekarang saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Saya tidak punya keinginan apa-apa lagi. Saya tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Saya hanya akan membacakan Alquran untuk mereka. Saya mungkin akan kembali (ke Suriah). Mungkin di sana saya akan dijemput mati. Saya memang berharap kami secepatnya bertemu lagi,” kata Abdullah yang hanya bisa menangis saat diwawancarai CNN, dan reporter stasiun televisi Amerika itu, menunjukkan bentuk simpati dari sejumlah seniman atas musibah yang menimpa keluarganya.

Simpati itu berupa rekayasa atas foto Aylan Kurdi yang menyentak dunia.

Ada yang mengubah pantai menjadi kamar tidur, ada menambahkan sayap pada punggungnya, seolah Aylan adalah malaikat yang akan terbang ke surga.

Ada yang menggambarkannya bersama malaikat, dibopong malaikat, dan ada pula di antara malaikat itu yang membawakannya balon berbentuk lambang cinta.

“Dia memang patut dicintai. Dia memang akan ke surga. Tidak, tidak. Dia sudah di surga. Dapatkah kau memberi tahu Ayah seperti apa surga itu, Nak? Ah, tidak, tidak. Tidak usah kau beritahu. Nanti akan ayah lihat sendiri. Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi.”

This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at http://ift.tt/jcXqJW.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment