Kelompok persaudaraan kemasonan masuk ke Hindia Belanda seiring eksodus rombongan pegawai serdadu Vereenigde Oost-Indische Compagnie dari tanah Eropa ke Nusantara. Awalnya tidak ada loji yang dapat mereka jadikan pusat pertemuan dan pengajaran di Hindia Belanda.
Dikutip dari cnnindonesia.com, Theo Stevens melalui buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda 1764 – 1962 mencatat, pertumbuhan loji dimulai di kota-kota dagang besar yang terletak dekat pesisir seperti Batavia, Semarang, Surabaya dan Padang.
Pun, di daerah pedalaman komunitas persaudaraan kemasonan, loji-loji mulai didirkan. Pada periode 1767 hingga 1948, setidaknya 27 loji pernah berdiri di Hindia Belanda, terbentang dari Banda Aceh sampai Makassar.
Ruang pemujaan yang sangat sederhana di Loji Palembang. (Dok Theo Stevens)
– La Fidele Sincerite – Batavia (1767)
– La Vertueuse – Batavia (1767)
– Constante et Fidele – Semarang (1801)
– De Vriendschap – Surabaya (1809)
– De Ster in het Oosten – Batavia (1837)
– Mata Hari – Padang (1858)
– Mataram, Yogyakarta (1870)
– Princes Frederik der Nederlanden – Rembang (1871)
– L’Union Frederic Royal – Solo (1872)
– Prins Frederik – Kota Raja atau Banda Aceh (1880)
– Arbeid Adelt – Makassar (1882)
– Veritas – Probolinggo (1882)
– Deli – Medan (1888)
– Excelsior – Buitenzorg (1891)
– Tidar – Magelang (1891)
– Sint Jan – Bandung (1896)
– Fraternitas – Salatiga (1896)
– Humanitas – Tegal (1897)
– Malang – Malang (1901)
– Blitar – Blitar (1906)
– Het Zuiderkruis – Batavia (1918)
– De Dageraad – Kediri (1918)
– De Broederketen – Batavia (1919)
– Palembang – Palebang (1932)
– Serajoedal – Poerwokerto (1933)
– De Hoeksteen – Soekaboemi (1933)
– De Witte Roos – Djakarta (1948)
Pertumbuhan kelompok persaudaraan khusus laki-laki itu di Hindia Belanda tak dapat dilepaskan dari peran seorang pendeta bernama Albertus Samuel Carpentier Alting.
Stevens menulis, Albertus menggagas penerbitan Indische Macconiek Tijdschrift, majalah yang menjadi saluran komunikasi antarasaudara. Ia pulalah yang memainkan peran penting pada kelahiran Loge Agung Provinsial Hindia Belanda.
Pada masa jayanya, tarekat kemasonan di Hindia Belanda memiliki 1500 anggota yang terbagi dalam 25 bentara. Namun, sejak awal abad ke-20 angka tersebut terus menurun seiring melemahnya kekuatan pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
Pada saat yang bersamaan, anggota tarekat yang berstatus sebagai warga asli Hindia Belanda, baik yang disebut pribumi maupun peranakan, terus meningkat. Pengamat kemasonan, Sam Ardi, mengatakan masuknya kaum elite Jawa ke kelompok persaudaran menjadi pemicu ketertarikan lelaki Hindia Belanda lainnya.
Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia, Loge Agung Provinsial Hindia Belanda mulai goyah. Stevens menulis, awal dekade 1950-an, anggota tarekat bernama Liem Bwan Tjie yang belakangan dikenal sebagai pelopor arsitektur modern Indonesia, menulis laporan tentang perkumpulan kemasonan di bawah nama Purwa-Daksina.
Pengurus, anggota dan undangan Loji Soerajodal (Lembah Serayu). Loji ini berdiri Purwokerta dan anggotanya banyak yang berkebangsaan Indonesia. Duduk di paling kiri, R.A.S Soemitro Kolopaking yang nantinya akan menjadi Suhu Agung Pertama dari Loge Agung Indonesia. (Dok. Theo Stevens)
Pada laporannya, Liem berkata, rencana pembentukan sebuah loji Indonesia telah muncul beberapa tahun sebelumnya. Namun, karena kesukaran penerjemahan teks pengajaan dari bahasa Belanda ke bahasa Indoneisa, loji tersebut tidak kunjung terbentuk.
Minimnya jumlah anggota yang berwarga negara Belanda turut menjadi penghambat pendirian Loji Purwa-Daksina. Liem menulis, kurangnya anggota Belanda itu ditakutkan akan berpengaruh pada mutu pelaksanaan pengajaran paham kemasonan.
Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ketujuh, Sekretaris Agung di Den Haag mengumumkan adanya perhomonan pendirian Loji Purwa-Daksina. Pemohon surat itu adalah sembilan mason Indonesia, yaitu Sumitro Kolopaking, Soerjo, Wisaksono Wirjodihardjo, Soebali, Hoedioro Sontoyudo, Sutisno, Liem Bwan Tjie, Liem King Tjiauw dan Liem Mo Djan.
Surat pendirian Loji Purwa-Daksina akhirnya ditandatangani Suhu Agung Belanda pada 18 Oktober 1952. Melalui sidang resmi Pengurus Besar Provinsial bertanggal 31 Oktober 1952, penyerahan surat dari lembaga pusat kemasonan Belanda kepada ketua Loji Purwa-Daksina, Sumitro Kolopaking, dilakukan di Ruang Ksatria Loji Adhuc Stat.
Pendirian Loji Purwa-Daksina lantas berlanjut pada pendirian empat loji Indonesia lainnya, yaitu Loji Bhakti di Semarang, Loji Dharma, Bandung dan Loji Pamitran, Surabaya.
Stevens menulis, pada 16 Juni 1954, para ketua dari empat loji Indonesia berkumpul di Semarang untuk mendirikan Loge Agung Indonesia (LAI). Dua pekan setelahnya, pertemuan tersebut menyepakati susunan pengurus LAI, yakni Soemitro Kolopaking sebagai suhu agung, Raden Soerjo menjadi wakil suhu agung dan Raden Soeparto sebagai pengawas agung pertama.
Para pengurus itu lantas mengirimkan permohonan kepada Pengurus Besar Kemasonan Belanda, bahwa penyebaran cita-cita masonik di antara penduduk Indoneisa hanya akan menghasilkan yang baik jika dilakukan dalam bahasa nasional.
Puncaknya, pada 7 April 1955, jelang pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, suhu agung Belanda C.M.R Davidson melantik para pengurus LAI di Jakarta. Stevens berkata, sejak itulah tarekat kemasonan Indonesia berpisah dari lembaga kemasonan induk di Belanda.
Perayaan hari Sint Jan di Loji Mataram pada tahun 1934. Gelas diangkat untuk menghormati dan memohon berkat bagi Sultan Yogyakarta, “kepadanya perkumpulan Loji Mataram banyak berhutang budi.” (Dok. Theo Stevens)
Sehari setelah pelantikan tersebut, suatu resepsi diselenggarakan Pengurus Besar Majelis Tahunan Indonesia. Menurut data Stevens, sebanyak dua ratus tamu, termasuk wakil-wakil dari Presiden dan Wakil Presiden Indonesia datang. Tiga kepala staf angkatan bersenjata Indonesia juga hadir pada resepsi tersebut.
Sam menuturkan, pembentukan LAI merupakan cara para mason Indonesia mempertahankan diri dari represi pemerintah. “Kalau tidak ada sentimen anti-asing, LAI mungkin tidak pernah muncul dan Kemasonan di Indonesia akan terus berada di bawah Majelis Provinsial Belanda,” katanya.
Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 7 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 yang dikeluarkan Presiden Soekarno menghentikan seluruh aktivitas LAI.
Meskipun Presiden Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan itu melalui Keppres Nomor 69 Tahun 2000, Sam berkata, kemasonan tidak pernah terlahir kembali di Indonesia. Gerakan pencerahan hanya dilakukan orang per orang yang mendaftarkan diri ke lembaga-lembaga kesomanan, baik di Singapura, Malaysia, Australia dan Belanda.
Related
This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at http://ift.tt/jcXqJW.
ConversionConversion EmoticonEmoticon