RS Soekanto: Pendiri Polri di Pucuk Freemasonry Indonesia


Berita kemerdekaan Indonesia sampai di Sekolah Tinggi Polisi (Koto Keisatsu Gakko), Sukabumi, Jawa Barat, dua pekan setelah Soekarno membacakan teks proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.

Seorang Komisaris Polisi Klas I bernama Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, instruktur di lembaga pendidikan itu, lantas mendesak petinggi sekolah untuk mengibarkan Bendera Merah Putih.

Atas desakan Soekanto dan dua instruktur pribumi lainnya, sang kepala sekolah yang berkebangsaan Jepang, Nagatama, mengizinkan bendera Indonesia berkibar sejajar dengan bendera Jepang, Hinomaru.

Namun, Soekanto berang karena Nagatomo menolak menyerahkan sekolah calon perwira kepolisian itu kepada pemerintah Indonesia. Pada 28 September 1945, Soekanto memutuskan untuk menemui kawan seperjuangannya, Raden Mas Sartono dan Iwa Koesoema Soemantri -belakangan diangkat Menteri Pertahanan RI ke-8 era Soekarno- di Jakarta.


Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (empat dari kiri) bersama Perdana Menteri Indonesia Sutan Syahrir memeriksa barisan siswa Sekolah Tinggi Polisi di Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, 17 Juni 1946. (Dokumentasi IPPHOS)

Kepada Sartono yang merupakan kakak kelasnya di Sekolah Tinggi Hukum (Rechthoogeschool te Batavia), Soekanto menyatakan keinginannya untuk bergabung ke pemerintahan republik. Oleh Sartono dan Iwa, Soekanto kemudian dibawa ke lokasi sidang kabinet pertama yang dipimpin Bung Karno.

Belakangan, berdasarkan dokumen yang didapat dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Soekanto mengatakan Sartono dan Iwa mengetahui Bung Karno ketika itu membutuhkan sosok yang pantas untuk diserahi tugas memimpin Kepolisian Nasional Negara (KKN).

Usai sidang kabinet pertama itu, atas dasar saran dua kawan seperjuangannya, Sartono dan Iwa, Bung Karno langsung melantik Soekanto sebagai kepala kepolisian pertama.

Kisah berdasarkan fakta dokumen itu dikumpulkan pengajar Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Ambar Wulan Tulistyowati. Ia menulis perjalanan Soekanto membangun dan memimpin KKN selama 14 tahun dalam disertasinya yang berjudul Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949.

Saat ditemui CNN Indoneisa akhir pekan lalu, Ambar mengatakan, Soekanto merupakan bapak kepolisian Indonesia yang nyaris tenggelam dari peta sejarah nasional. Padahal, menurut Ambar, Soekanto berperan besar dalam mendirikan fondasi Polri.

“Soekanto adalah sosok yang visioner. Dia membangun tradisi profesionalisme kepolisian,” ucap Ambar.

Mobile Brigade (kini Korps Brigade Mobil), Polisi Air dan Udara, Polisi Wanita, Polisi Khusus Kereta Api, Pengawasan Aliran Masyarakat (cikal-bakal Badan Intelijen dan Keamanan) disebut Ambar sebagai warisan Soekanto bagi Polri.

Tidak hanya itu, Ambar menuturkan, Soekanto juga menjadikan pedoman lulusan Sekolah Tinggi Kepolisian yang diinisiasi Djoko Soetono menjadi dasar perilaku polisi. Pedoman itu adalah Tri Brata dan Catur Prasetya.

“Pada 1 Juli 1955, Soekanto menjadi orang pertama yang mengucap Tri Brata di hadapan presiden,” kata Ambar.

Julius Pour, pada buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang, mencatat, Soekanto juga membentuk Polisi Pengawal Presiden jelang perpindahan ibukota republik dari Jakarta ke Yogyakarta, Desember 1945.

Julius menulis, unit yang surat keputusan pembentukannya ditandatangani Sekretaris Negara Gondo Warojo tersebut diciptakan Soekanto untuk menjaga keselamatan Bung Karno.

Soekanto Terdaftar di Loji Purwa-Daksina
Theo Stevens, seorang penulis buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda 1764 – 1962, bercerita tentang sosok Soekanto di luar hiruk-pikuk kepolisian.

Mengutip edisi September 1953 Maconniek Tijdschrift poor Indonesie, majalah internal Tarekat Kemasonan di Indonesia, Stevens menulis, Soekanto yang saat itu berstatus sebagai Kepala Djawatan Kepolisian Negara Indonesia mendaftarkan diri sebagai calon anggota Loji Purwa-Daksina.

Loji tersebut merupakan loji kemasonan pertama yang seluruh pengurus dan tata pengajarannya bernuansa Indonesia. Soekanto kemudian dilantik menjadi anggota Loji Purwa-Daksina pada 8 Januari 1954.

“Ritual dilakukan dalam bahasa Indonesia dan upacara diiringi musik gamelan. Sekitar 50 orang menghadiri upacara pelantikan itu,” tulis Stevens.


Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (kanan) dirawat di Rumah Sakit Polri, Jakarta, circa 1991. Soekanto ditemani keponakannya, Raden Soelaiman Soepardi Tjokrodisaputro. Photografer Dok. Istimewa

Pengamat kemasonan, Sam Ardi, berkata Soekanto sebenarnya sudah lebih dulu diterima menjadi anggota Majelis Provinsial Kemasonan Hindia Belanda sebelum menjadi kepala KKN.

“Dia bergabung karena keinginannya sendiri. Nilai-nilai kemasonan sejalan dengan jiwanya,” ucap Sam di Malang, awal Januari silam.

Tak hanya menjadi anggota biasa, Sam menuturkan, Soekanto merupakan guru agung -orang Indonesia kedua yang mencapai tingkat tertinggi- dalam Tarekat Kemasonan yang kala itu bernama Loge Agung Indonesia.

Sebelum Soekanto, jabatan tersebut dipegang oleh Bupati Banjarnegara, Raden Adipati Arya Poerbonegoro Soemitro Kolopaking.

Soekanto tercatat sebagai guru agung kemasonan Indonesia yang terakhir. Peraturan Penguasa Perang Tertinggi nomor 7 tahun 1961 dan Keputusan Presiden nomor 264 tahun 1962 dikeluarkan Bung Karno untuk melarang aktivitas Loge Agung Indonesia menjadi alasannya.

Pada awal Orde Baru, menurut Sam, Soekanto sempat menemui Soeharto, meminta pencabutan larangan terhadap Loge Agung Indonesia. “Soeharto menolak karena keppres itu murni keputusan politik,” tuturnya.

Alih-alih mengizinkan Soekanto mendirikan kembali induk tarekat kemasonan di Indonesia, Sam mengatakan, Soeharto malah mendorong Soekanto untku menggagas organisasi masyarakat baru.

Belakangan, Soekanto menindaklanjuti usulan Soeharto itu dengan membuat Olahraga Hidup Baru (Orhiba).

Terkait aktivitas Soekanto di tarekat kemasonan, Ambar Wulan menunjukkan keraguannya. Ia menilai, Soekanto hanya menjalankan kepercayaan Kejawen, sebagaimana pria Jawa lainnya lakukan pada masa itu.

“Dia memang menganut kebatinan. Tapi yang ia jalankan itu untuk mencapai keseimbangan antara rohani dan jasmani,” ujarnya.

Ambar mengatakan, Soekanto melakukan ritual kebatinan agar memperoleh kebajikan-kebajikan kehidupan. Tindakan Soekanto tersebut, menurutnya, tidak bertujuan untuk membentuk golongan tertentu yang menistakan agama -pemahaman atas Tarekat Kemasonan menurut Ambar.

Menelusuri keraguan Ambar, CNN Indonesia lantas mencari kebenaran data yang dipaparkan Theo Stevens ihwal Soekanto dalam bukunya. Pada Awal Februari lalu beruntung CNN bertemu dengan Raden Soelaiman Soepardi Tjokrodisaputro. Ia adalah keponakan dari Soekanto dan sempat hidup mendampingi sang paman selama 30 tahun.

“Dia (Soekanto) kalau nggak salah pernah jadi ketua di Adhuc Stat,” kata Pardi -sebutan akrab sang keponakan saat dijumpai CNN Indonesia. Adhuc Stat adalah sebuah loji Tarekat Kemasonan yang kini gedungnya digunakan sebagai kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Pardi lantas mengenang ihwal rumah tempat Soekanto tinggal di Jalan Diponegoro No 3 yang hanya berjarak 100 meter dari Loji Adhuc Stat. “Dulu beliau sering pergi ke loji Adhuc Stat, Sering. Dulu kan ada perpustakaannya juga, isinya buku-buku Belanda,” katanya.

Di sisi lain Sam berkata, selain aktif di Loge Agung Indonesia, Soekanto juga terdaftar sebagai anggota Organisasi Kebatinan Kuno Palang Mawar (Ancient Mystical Organization of Rosi Crusians). Berdasarkan penelusuran CNN Indonesia, Soekanto pernah menjadi bendahara di Lembaga Pembantu Pembangunan Djiwa.

Soekanto wafat 24 Agustus 1993 di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta. Empat bulan sebelumnya, ia telah menjalani perawat intensif di rumah sakit yang kini bernama Rumah Sakit Bhayangkara Raden Said Soekanto itu.

Meskipun memiliki Bintang Mahaputra Adiprana Kelas II dan berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Soekanto telah mewanti-wanti sanak-keluarganya agar menguburkannya pada makam yang sama dengan istrinya, Hadidjah Lena Mokoginta, di TPU Tanah Kusir.

Harian Kompas ketika itu melaporkan, ratusan orang menghadiri pemakaman Soekanto. Hoegeng Imam Santoso, Kapolri periode 1968 hingga 1971, merupakan satu dari ratusan pelayat.

Hoegeng yang kini menjadi ikon polisi jujur, kala itu berkata, “Tanpa Pak Kanto, polisi sudah berantakan.”

Republished by Blog Post Promoter

Let's block ads! (Why?)

Previous
Next Post »
Thanks for your comment