Selama ini pihak FDA (Food and Drugs Administration) diketahui tidak pernah menaruh perhatian terhadap masalah libido rendah yang terjadi pada wanita. Padahal, ratusan wanita di belahan dunia lain sedang merasakan penyakit yang didiagnosa sebagai pemicu stres dan keretakan rumah tangga akibat rendahnya libido mereka. Namun FDA kini tampaknya mulai mengubah pandangan mereka.
Sampai kabar ini diluncurkan, FDA memang belum menyetujui adanya obat khusus untuk menangani masalah disfungsi seksual yang banyak menyerang wanita di usia 20 hingga 35 tahun tersebut.
“Ini merupakan momen yang sangat penting karena FDA akhirnya merealisasikan perawatan yang pantas diberikan sehingga wanita pun mendapatkan hak yang sama seperti pria. FDA untuk pertama kalinya benar-benar mendengarkan dari sudut pandang pasien agar dapat dilakukan proses penelitian berlanjut oleh para dokter,” ujar Dr. Leah Millheiser, Director of the Female Sexual Medicine Program di Stanford University Medical Center.
Seperti yang dikutip dari tribunnews.com , Berdasarkan riset pada akhir tahun lalu, masalah disfungsi seksual wanita mengalami peningkatan secara signifikan. Pada 27 Januari 2014, empat wanita mengirimkan surat kepada FDA yang berisi protes mengenai adanya diskriminasi terhadap metode perawatan khusus masalah seksual antara pria dan wanita. Lalu, pada 23 Oktober lalu, sebuah kelompok yang terdiri atas 83 tenaga profesional medis merekomendasikan penyakit disfungsi seksual sebagai suatu penyakit prioritas (yang layak diberi perhatian lebih besar).
Situasi tersebut mendorong terciptanya kampanye kesetaraan seksual yang dimulai dengan petisi kepada pihak FDA. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Dr. Mohit Khera, seorang urologis di Universitas Baylor Medicine, yang selama ini sangat fokus pada masalah disfungsi seksual pada wanita.
“Pertemuan sudah dijadwalkan lama sekali dengan pihak FDA. Selama ini memang hanya tersedia penanganan untuk pria sejumlah 26 obat, namun tidak tersedia sama sekali untuk mengatasi libido rendah pada wanita. Penyebabnya karena masalah disfungsi seksual pada pria lebih mudah didiagnosa lewat ereksi penis, sedangkan untuk wanita lebih banyak dinilai dari sisi subjektivitas,” ungkap Dr. Mohit.
Lebih lanjut, Dr. Mohit memaparkan bahwa sebenarnya persoalan disfungsi seksual pada wanita dipengaruhi oleh banyak faktor dan alasan kuat, baik dari sisi internal maupun eksternal. Selain itu, disfungsi seksual wanita tidak hanya dipengaruhi faktor hormon dan stimuli otak.
“Disfungsi seksual wanita bukan hanya mengacaukan hidup wanita, tapi juga berdampak pada produktivitas serta merusak pernikahan, khususnya hubungan harmonis antara suami dan anak,” kata Michelle King Robson, pendiri EmpowHER yang juga menderita gangguan disfungsi seksual.
Sebelumnya pernah ada obat bernama Intrinsa yang tersedia di Eropa untuk mengatasi masalah libido rendah wanita, namun ditolak oleh FDA karena obat itu hanya dianggap aman untuk mengobati masalah yang berkaitan dengan hormon testosteron pada pria.
Solusi lain juga beredar sebagai pereda rasa nyeri saat berhubungan seksual yang diyakini wanita sebagai pemicu masalah disfungsi seksual, seperti penggunaan krim estrogen wanita. Opsi obat lainnya adalah Wellbutrin sebagai antidepresi yang bisa mendorong peningkatan dopamin, namun memiliki efek samping seperti sakit kepala, konstipasi, sesak napas, dan lainnya.
Perawatan menjanjikan lainnya yakni flibanserin menggunakan pipeline, obat anti hormonal bagi wanita pre-menopause penderita libido rendah. Semula, obat ini dinilai cukup efektif, namun akhirnya FDA gagal memberikan izin karena setengah dari 11.000 wanita yang mengonsumsinya mengalami efek samping masalah insomnia.
FDA masih melakukan studi intens untuk menemukan obat yang tepat dan minim efek samping negatif bagi pasien. Obat tersebut dikabarkan akan diproduksi oleh Industri Sprout Pharmaceutical.
Wajib dibaca:
This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at http://ift.tt/jcXqJW.
Want something else to read? How about 'Grievous Censorship' By The Guardian: Israel, Gaza And The Termination Of Nafeez Ahmed's Blog
ConversionConversion EmoticonEmoticon