Kunci menuju kebahagiaan bisa semudah menjauhi Facebook selama seminggu, menurut sebuah studi baru di Denmark yang dilansir dari Medical Daily.
Para peneliti dari The Happiness Institute menguji seberapa besar pengaruh media sosial terhadap kebahagiaan secara umum. Ada 1.095 total pengguna jejaring sosial Facebook yang ditanyai mengenai tingkat kepuasan hidup mereka dengan skala 1 sampai 10 berdasarkan faktor yang berbeda, seperti seberapa bahagiakah mereka, seberapa sering mereka menikmati hidup mereka, apakah mereka merasa khawatir atau sedih, dan apakah mereka bersemangat.
91 persen mengaku membuka Facebook paling tidak sekali dalam sehari. Setelah dilakukan evaluasi, setengah dari grup diminta untuk menghindari Facebook selama seminggu, sementara setengah lainnya dibolehkan menjalani kehidupannya secara normal.
Seminggu kemudian, seperti yang dikutip dari liputan6.com, kepuasan hidup para partisipan kembali diukur. Hasilnya mengungkapkan bahwa mereka yang tetap menggunakan Facebook mengalami sedikit peningkatan kebahagiaan dalam kepuasan hidup mereka, dengan rata-rata kenaikan rating kepuasan hidup mereka dari 7.67 ke 7.75. Namun, grup ini juga 55 persen kemungkinan merasa stres. Grup lainnya yang tidak menggunakan media sosial, mengalami peningkatan kebahagiaan yang signifikan, rating kebahagiaan mereka melonjak dari 7.56 ke 8.12.
Partisipan yang meninggalkan Facebook juga mengalami peningkatan dalam aktivitas dan kepuasan pada kehidupan sosial mereka. Ketika mereka kembali ditanyakan tentang mood mereka pada beberapa hari terakhir eksperimen, mereka melaporkan merasa lebih bahagia dan jarang sedih, dibandingkan dengan mereka yang tetap membuka Facebook. Namun secara keseluruhan, grup yang meninggalkan Facebook mempunyai 18 persen hidup untuk masa kini saja.
Meik Wiking, CEO dari Happiness Research Institute mengatakan, bahwa Facebook tidak sepenuhnya buruk, namun lebih kepada kemungkinan mempengaruhi cara individu melihat hidup mereka. “Facebook mendistorsi persepsi kita tentang kenyataan dan tentang apa yang terlihat pada hidup orang lain,” ujar Wiking. “Kita menilai hidup kita berdasarkan perbandingan dengan orang lain, dan karena orang hanya mengunggah hal yang positif saja di Facebook, membuat persepsi kita tentang kenyataan menjadi bias.”
Facebook menjelma menjadi sebuah “saluran berita hebat tanpa henti” dan menempatkan para pengguna pada resiko untuk melihat secara negatif tentang hidup mereka sendiri. “Hal itu tidak seharusnya dijadikan sebuah acuan untuk mengevaluasi hidup kita sendiri,” tambah Wiking. Menurut para peneliti, ini dikarenakan manusia mempunyai kecenderungan bawaan untuk lebih fokus pada kehidupan orang namun dankehilangan fokus tentang apa yang mereka butuhkan.
Sebagai contoh, studi ini menemukan banyak dari sukarelawan merespon negatif terhadap postingan Facebook orang lain ketika mereka memasukkan tagar #AMAZING, #HAPPY, atau #SUCCESS.
Sebuah studi baru lainnya menemukan kebahagiaan pada orang dewasa usia 30-an keatas mengalami penurunan, dan studi tersebut menyatakan bahwa media sosial sebagai “pelaku utama” penyebab tren penurunan tersebut. Sementara kalangan dewasa muda berkembang bersama teknologi, yang menyebabkan perilaku mencari perhatian, orang dewasa yang lebih tua jelas-jelas tidak mengalami akibat yang sama.
Related
This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at http://ift.tt/jcXqJW.
ConversionConversion EmoticonEmoticon