Legenda Omah Kanthil Kotagede Jogja


Rumah Kanthil atau sering disebut Omah Kanthil oleh kebanyakan warga Kotagede adalah rumah kosong yang menjadi dikenal oleh wisatawan lokal maupun mancanegara setelah on air dalam acara uji nyali “Dunia Lain” di Trans TV.

Saat kita menyusuri jalan Modorakan Kotagede, yaitu arah dari pasar Kotagede ke barat, kita akan melihat sebuah pintu kuno di sebelah kanan jalan kurang lebih 200 meter setelah kita beranjak dari Pasar Kotagede. Pintu di sisi utara Jalan Mondorakan itu dari luar hanya tampak seperti pintu garasi dari kayu yang sudah usang. Tidak tampak ada yang menarik dari pintu itu, apa lagi yang berada di balik pintu itu kira-kira. Pintu kayu lapuk tersebut terdiri dari dua daun pintu yang masing-masing lebarnya sekitar dua meter, cukup besar memang. Pada salah satu daun pintu terdapat sebuah pintu kecil, sehingga tepat jika disebut dengan pintu yang berpintu. Pintu itulah yang digunakan sebagai jalan keluar masuk ketika pintu utama ditutup.

Jika kita mencoba masuk, selepas dari pintu besar tadi terbentang jalan tanah selebar sekitar empat meter yang dibatasi oleh dinding bangunan di kedua sisinya. Jalan itu tidak panjang, sekitar lima belas meter saja, dan di ujungnya telah menanti dengan angkuhnya sebuah menara penerima/penerus sinyal salah satu operator telepon seluler berikut pagar kelilingnya yang begitu masif. Dari ujung jalan ini, untuk terus menuju ke utara harus terlebih dahulu mengitari pagar menara itu. Tepat di sisi utara pagar menara berdiri sebuah rumah tua yang jelas tidak lagi ditinggali.

Rumah tua itu saat ini letaknya memang sudah sangat terbuka. Di samping dan belakangnya langsung berbatasan dengan rumah penduduk, selain bagian depan rumah yang telah berubah menjadi menara tadi (menara itu menempati lahan bekas pendapa rumah tua itu). Namun begitu, terasa nuansa yang lain ketika mencoba mendekati rumah tua itu, apa lagi mencoba masuk ke dalamnya. Memang, menurut warga Kota Gede, rumah yang dikenal dengan nama Rumah Kanthil itu ada “penunggunya” yang dikenal dengan nama Barowo. Keangkeran rumah tua itu sudah begitu dikenal oleh warga kawasan yang sudah sangat akrab dengan organisasi Islam besar bernama Muhammadiyah itu.

Sejak sekitar hampir 5 tahun yang lalu Rumah Kanthil ini semakin populer, tidak hanya di kalangan warga Kota Gede saja, tetapi juga warga Yogyakarta pada umumnya, bahkan kota-kota lain di Jawa. Menariknya, menurut M. Natsir dari Yayasan Kanthil Kotagede, sempat ada rombongan dari luar kota Yogyakarta yang datang ke Kotagede mencarter bus wisata hanya untuk mencari Rumah Kanthil ini. Hal ini tidak lepas dari peristiwa ketika Rumah Kanthil dipakai sebagai lokasi pengambilan gambar acara reality show yang populer dengan uji nyalinya, yaitu “Dunia Lain” yang ditukangi oleh Trans TV. Tak ayal lagi, banyak orang yang semakin penasaran dengan Rumah Kanthil. Kedatangan rombongan “turis” tadi menjadi salah satu dampak nyatanya.

Sejarah Omah Kanthil
Seperti dikutip dari wisatamistisjogja.blogspot.co.id, kawasan Kanthil berada sekitar 230 meter di barat laut Pasar Kotagede. Persisnya di RT 49, RW 10 Kampung Trunojayan. Nama Kanthil diambil dari nama pohon kanthil (Michelia champaka) yang pernah tumbuh di sana. Pohon kanthil ini tumbuh besar, sehingga banyak dikeramatkan orang. Di dekat pohon kanthil, ada sebuah lumpang dari batu hitam. Sama seperti pohon kanthil, lumpang itu pun dikeramatkan warga. Ada yang percaya, orang yang kakinya lumpuh jika dimandikan di lumpang tersebut bakalan bisa sembuh.

Pemilik Rumah Kanthil adalah Karto Jalal, atau sebagian warga lebih mengenalnya dengan Karto Kanthil. Ia adalah seorang saudagar kaya di Kotagede. Usaha yang digelutinya adalah batik. Ketika batik Kotagede mengalami masa keemasan di tahun 1940-1960, Karto Kanthil pun mendulang untung. Kala itu, harga jarik amat mahal. Orang rela menukarkan tanahnya yang seluas ratusan meter dengan dua atau tiga potong kain jarik. Tak heran, rumah dan tanah Karto Kanthil pun terserak di segala pelosok Kotagede.

Kalau Karto Kanthil mempunyai hajatan menikahkan anaknya, pestanya tujuh hari tujuh malam. Pengantinnya diarak keliling Pasar Kotagede. Pengantin laki-lakinya mengendarai kuda. Pengantin perempuannya naik tandu hias yang dipikul empat orang lelaki. Keluarga yang lain mengendarai kereta kuda hias. Sedangkan anak-anak yang mengiringi naik kremun (tandu kecil), di belakangnya barisan umbul-umbul, rontek bertugas sebagai pramuladi pun pria-pria pilihan, gagah-gagah berkulit kuning langsat. Pemuda-pemuda itu diambil dari kampung-kampung di Kotagede yang tergabung dalam paguyuban Susilo Mudho.

Setelah tahun 1960, usaha batik di Kotagede surut drastis, termasuk juga usaha milik Karto Kanthil. Beberapa puluh tahun kemudian, tanah-tanah Karto Kanthil satu demi satu dijual oleh ahli warisnya. Malah, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tak jarang ahli waris menjual murah barang-barang yang masih tersisa, seperti tempat tidur besi, tanggem, daun jendela, dandang, soblok, almari, dan aneka barang remeh temeh lainnya.

Di sekitar tahun 1990 an, salah seorang menantu Karto Kantil pernah mengeluh, bahwa beberapa tanah miliknya telah dipakai oleh pemerintah tanpa seijin dirinya. Malah, di tanah yang menurut menantu tersebut adalah miliknya, telah didirikan bangunan gedung kantor pemerintah. Salah satunya adalah Balai Diklat PU di timur jembatan Winong, Kotagede. Menantu Karto Kantil tersebut mengaku pernah mengurusnya, namun karena tiadanya bukti legal formal tertulis, sang menantu tersebut akhirnya kalah.

Sebagai ruang publik, tak banyak jejak yang bisa dilacak dari pendapa Kanthil. Selain pernah menjadi tempat ibadah sholat tarawih pengajian anak-anak Komariyah Masjid Perak, pendapa Kanthil jarang sekali dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

Nasib tragis pendapa Kanthil punya kisah tersendiri. Waktu itu di tahun 1990-an, seorang menantu dari Karto Kanthil sedang punya hajat menjual pohon mangga. Karena tukang tebangnya kurang perhitungan, ranting besar pohon itu menimpa pendapa Kanthil yang ada di dekatnya. Akibatnya, pendapa Kanthil pun miring. Karena tidak punya biaya untuk mengembalikan pendapa seperti semula, pendapa Kanthil itu dibiarkan miring dalam waktu yang lama. Keadaan ini diterkam makelar pendapa. Benar saja. Tak sampai hitungan tahun, pendapa Kanthil pun tercerabut dari tempatnya.

Kini, kawasan Kanthil telah sangat berubah. Rumah tanpa induk semang itu sedang menunggu kehancurannya. Kelabang, cacing, kalajengking, dan dhemit kini tinggal di sana. Karena dikenal angker, Rumah Kanthil pun pernah dipakai sebagai lokasi pengambilan gambar acara “Dunia Lain”, yang ditayangkan oleh sebuah televisi swasta nasional.

This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at http://ift.tt/jcXqJW.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment