Temuan Ahli Indonesia Ini Membuat Rokok Jadi Menyehatkan!


Divine kretek, sebagai salah satu temuan, menjadi pelopor dalam menunjukkan keberadaan rokok sehat. Menurut penelitian para pakar berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas (LPPRB) di Malang, Jawa Timur, jika selama ini rokok dipandang sebagai produk yang mematikan, sekarang tembakau yang menjadi bahan baku utama rokok itu justru mengandung sejumlah zat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk kanker.

Benarkah?

Pendapat merokok tapi sehat kini mendapat perhatian. Berdasarkan hasil riset ilmiah, sekarang rokok kretek dapat ditransformasikan menjadi rokok sehat. Rokok kretek atau yang populer disebut kretek saja, yang selama ini -seperti rokok-rokok lain- mendapat stigma negatif sebagai penyebab penyakit dan kematian, ternyata tidak lagi berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungannya.

Divine kretek merupakan sebuah filter rokok yang memiliki sebuah teknologi untuk menghilangkan radikal bebas dari asap rokok. Selain itu, teknologi tersebut memodifikasi makro molekul yang terkandung dalam asap rokok lewat sentuhan teknologi dengan ukuran lebih kecil.

Seperti yang dikutip dari metrotvnews.com, Pada dasarnya, divine kretek merupakan peluruh radikal bebas. Ilmuwan yang berjasa menemukan formula peluruh radikal bebas ini adalah Dr. Gretha Zahar, ahli kimia radiasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat. Wanita yang lahir tahun 1939 di Salatiga, Jawa Tengah, ini melakukan riset secara mandiri sejak tahun 2000 untuk mengembangkan metode terapi penyembuhan penyakit degeneratif, antara lain kanker, stroke, alzheimer, dengan teknik peluruhan radikal bebas. Terapi penyembuhan dilakukan dengan metode balur menggunakan formula berbasis asam amino untuk menangkap radikal bebas yang disebut scavenger.

Penerapan metode balur yang digunakan Gretha itu awalnya terinspirasi oleh cara pengobatan kuno, yang dahulu biasa dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Untuk mengobati suatu penyakit, orang-orang zaman dulu biasanya meluluri tubuh dengan ramuan yang berbahan dasar rempah-rempah atau daun-daunan tanaman berkhasiat.

Metode luluran atau baluran ini kemdian disempurnakan dengan asap rokok divine kretek setelah Dr. Gretha betemu dengan Prof. Sutiman Bambang Sumitro yang merupakan ahli biologi molekuler sekaligus nanobiologi dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Penggunaan asap rokok divine kretek dalam terapi balur itu merupakan hasil diskusi kedua ilmuwan itu.

“Bukan saya yang menemukan divine kretek. Ini merupakan buah pemikiran dari Dr. Greta Zahar. Saya hanya melanjutkan kajian secara lebih mendalam aspek sainsnya,” ujar Sutiman.

Secara spesifik asap kretek (biomasa berbahan tembakau dan cengkih) dipilih karena dalam perspektif nanosains nikotin-emas tembakau bersifat pembersih (cleaner) dan komponen struktur tar (sensitizer) nikotin dan cengkih merupakan rangkaian nanostruktur yang istimewa.

Menurut Jack Hennigfield (1998), seorang ahli kimia di John Hopkins, nikotin adalah senyawa kimiawi yang luar biasa. Pendapat ini didukung oleh penelitian Wanda Hamilton (Juli 2001) yang menemukan bahwa di daun tembakau terdapat partikel emas atau aurum (Au). Partikel Au di daun tembakau itu bisa diisolasi sebagai nicotin-gold cair. Faktor inilah yang ditengarai membuat kebiasaan orang-orang pada zaman dahulu, baik orang Indian maupun kemudian orang Eropa, menggunakan tembakau sebagai obat. Meski tanpa kesadaran lmiah dan hanya karena berdasarkan pengalaman empirik saja, orang-orang Indian di Amerika percaya bahwa tembakau dan nikotinnya adalah obat istimewa anugerah dari Tuhan.

Sebagaimana diketahui, industri farmasi pun menggunakan nikotin sebagai obat. Pabrik farmasi mengisolasi nikotin cair dari daun tembakau, karena mempunyai sifat kerja sebagai acetylcholin. Penemuan partikel Au di tembakau ini menguntungkan dunia medis, karena seiring dengan pengobatan kanker secara fotodinamika dengan partikel nano yang sedang digencarkan dalam dekade ini. Dalam era nanosains dan nanoteknologi sekarang ini, konsep fotodinamika untuk terapi dengan partikel nano-aurum digunakan untuk membunuh sel-sel kanker.

Dengan kata lain, para ilmuwan di atas telah meyakini bahwa rokok beracun bukan karena tar dan nikotinnya. Akan tetapi logam Hg (merkuri atau air raksa) yang tersembunyi dalam rokok itu yang membuatnya menjadi racun. Dalam salah satu teori, unsur Hg di udara menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika terpapar dan menyerap sinar ultra violet tipe UVC. Partikel-partikel merkuri yang terpapar UVC itu menjadi radikal bebas yang melayang-layang di udara dan mudah bereaksi dengan molekul-molekul unsur lain yang ada di dekatnya.

Itulah yang mendorong dan menjadi dasar inovasi rokok sehat, divine kretek. Prinsip divine kretek adalah menangkap logam merkuri di tembakau (rokok) dengan formula gabungan senyawa yang menghilangkan radikal bebas.

“Radikal bebas itu adalah senyawa dengan atom yang memiliki elektron tidak berpasangan. Untuk itu, dengan mengambil senyawa-senyawa yang ada di asap itu, kita kembangkan suatu konsep bagaimana meluruhkan radikal bebasnya. Sehingga radikal bebas ini level energinya jadi tidak seganas rokok yang ada di pasaran,” kata Sutiman.

Ketertarikan Sutiman untuk meneliti rokok dimulai pada 2007. Secara garis besar, prinsip yang dia lakukan kala itu adalah menghilangkan radikal bebas dari asap rokok. Selain itu, memodifikasi makro molekul yang terkandung dalam asap rokok lewat sentuhan teknologi nano.

Divine kretek hasil ciptaan Sutiman telah diujicobakan ke dua ekor tikus. Dua ekor tikus tersebut sama-sama disuntik kanker kelenjar getah bening.

Menurut Sutiman, para perokok bisa menderita kelenjar getah bening akibat pengaruh nikotin. Satu tikus setiap hari diterapi dengan metode pengasapan menggunakan divine kretek, sedangkan satu tikus dibiarkan hidup tanpa proses pengobatan. Jarak dua pekan tikus tanpa pengobatan mati, sementara satu tikus dengan terapi divine kretek bertahan hidup hingga selama enam bulan.

Apakah terapi tersebut berhasil menyembuhkan penyakit kanker?

Sutiman sekali lagi menegaskan bahwa penggunaan divine kretek tersebut hanya membantu meningkatkan kualitas hidup penderita kanker.

“Sebetulnya itu bukan menyembuhkan dalam konteks menghilangkan sel kankernya. Tapi itu mengontrol radikal bebas yang ada di dalam tubuh, yang biasanya banyak pada orang sakit,” kata Sutiman.

Ia menuturkan, inovasi divine kretek dilatarbelakangi oleh keinginan meringankan penderitaan istrinya yang terkena kanker payudara. Lalu sang istri pun menjalani pengobatan dengan metode terapi balur. Namun, terapi itu dikeluhkan karena dirasa tidak nyaman.

“Kemudian Dr. Greta Zahar berpikir untuk kemungkinan memakai asap rokok yang sudah tidak ada radikal bebasnya ini,” kata Sutiman.

Ternyata, ia melanjutkan, penggunaan asap rokok sehat alias divine kretek itu efektif. Terapi balur sekarang jadi lebih nyaman bagi pasien.

“Istri saya sampai sekarang kualitas hidupnya bagus. saya tidak berpikir sembuh dalam arti kankernya hilang semua. Tapi semua data menunjukkan bahwa level indikasi kankernya itu menjadi rendah. Kalau dilakukan CT-Scan itu kankernya bisa tidak terdeteksi lagi,” kata Sutiman.

Kini, Sutiman ingin mengembangkan temuannya bersama Gretha itu. Menurut dia, hasil penelitian dalam bentuk divine kretek tersebut masih merupakan tahapan awal. Karena itu, ia merencanakan penelitian lanjutan. “Saya akan melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk memberikan pemahaman secara lebih detail,” kata Sutiman.

Sutiman pun menegaskan bahwa penelitiannya ini tidak bertujuan menguntungkan kepentingan industri rokok. Ia membantah anggapan tentang ada dukungan industri rokok dibalik temuannya terkait divine kretek.

Ia tertarik melakukan penelitian, karena terdorong menemukan solusi atas permasalahan bangsa yang berkaitan dengan kearifan lokal. Tidak hanya rokok yang disorotinya, jamu pun salah satu kearifan lokal lain yang mendapat perhatiannya.

“Menurut saya, semua hal yang berhubungan dengan hasil karya nenek moyang kita itu adalah patut diapresiasi. Apakah itu kretek, jamu, dan lain-lain. Semuanya harus diapresiasi, jangan sampai malah kita melakukan depresiasi tehadap itu semua,” kata Sutiman.

Sutiman sendiri mengaku bukan perokok. Ini sekaligus menegaskan bahwa peneliti harus mengabaikan unsur subyektivitas dan mengedepankan obyektivitas.

Itu pula sebabnya Sutiman tidak menawarkan temuannya ini kepada produsen rokok. Penjualan filter divine kretek yang berlabel Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas, Malang, Jawa Timur, semata untuk membantu pendanaan penelitian lanjutan.

“Orientasi riset ini memang bukan ke arah bisnis,” kata Sutiman.

Namun, Sutiman tak menutup kemungkinan untuk membuat paten atas temuannya. “Bisa dipatenkan hanya supaya tidak menjadi monopoli dari suatu perusahaan saja,” kata Sutiman.

This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at http://ift.tt/jcXqJW.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment