Ternyata Buka Lahan dengan Bakar Hutan Memang Diizinkan Pemprov Kalteng


Kabut asap di Kalimantan Tengah (Kalteng) kian hari kian pekat. Kebakaran hutan yang jadi sumber asap tak kunjung padam. Usut punya usut, ternyata pembakaran hutan di Kalteng diizinkan oleh pemerintah setempat.

Ternyata, ada Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang membolehkan pembakaran hutan. Pergub ini diteken Gubernur Kalteng yang saat itu menjabat, yaitu politikus PDIP Agustin Teras Narang.

Seperti yang dikutip dari detik.com, Penjabat Gubernur Kalteng Hadi Prabowo membenarkan adanya aturan tersebut. “Pergub Nomor 15 Tahun 2010, tentang diperbolehkan membakar lahan dalam pengendalian,” ujar pria yang baru dilantik Agustus 2015 ini.

Ketentuan soal izin membakar hutan terdapat di Pasal 1. Di dalam Pasal 1 ini terdapat 7 poin. Namun soal izin pembakaran hutan sudah jelas tertulis di poin 1.

Berikut bunyi Pasal 1 Poin 1 Pergub tersebut:

Pasal 1

Mengubah ketentuan Pasal 3 Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Gubernur ini.

RIAU
Berbeda dengan Kalteng, Riau tak memiliki perda yang mengatur pembakaran lahan. Pemerintah Riau sempat membuat draf tapi dibatalkan oleh pemerintah pusat.

Demikian disampaikan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishu) Riau, Fahrizal Labay kepada detikcom, Jumat (23/10/2015) di Pekanbaru. Labay menyebutkan, bahwa munculnya rencana perda itu, untuk mengakomodir masyarakat adat yang memang mempunyai kebiasaan membuka lahan dengan cara membakar.

“Akan tetapi, rencana Perda itu tidak mendapat izin dari Pemerintah Pusat. Sehingga, kita tidak pernah memberlakukan rencana perda terkait dibolehkannya membakar lahan hanya dua hektare itu,” kata Labay.

Masyarakat adat, dalam hal ini suku pedalaman di Riau, sejak dulu hidup berpindah-pindah untuk membuka perladangan. Akan tetapi masyarakat adat membuka lahan di kawasan tanah mineral (tanah keras) bukan di lahan gambut.

“Masyarakat adat, sangat arif dalam membuka perladangan. Mereka memilih tanah mineral, bukan gambut. Sebelum dibakar, kawasan harus sudah terlebih dahulu dibersikan dan tumpukan kayu berada di tengah. Begitu dibakar, api tidak menjalar ke mana-mana. Begitulah mereka,” kata Labay.

Dalam membuka perladangan, kata Labay, masyarakat adat juga mengawasinya secara ketat. Masyarakat adat bersama-sama menjaga api sampai habis.

“Mereka secara arif menjaga apinya sampai lahan benar-benar habis, bukan ditinggalkan. Jadi mereka itu membakar lahan untuk perladangan benar-benar dijaga. Inilah awalnya rencana perda kita untuk mengakomodir. Tapi memang tidak lolos,” kata Labay.

Masyarakat adat, lanjut Labay, membukan perladangan bukan untuk komersil seperti yang terjadi saat ini di Riau. Mereka membuka perladangan untuk ditanami padi darat, atau pun tanam pisang.

“Sekarang orang buka lahan untuk ditanami sawit. Persoalan kita sekarang ini yang ada di Riau ataupun di Sumsel dan Jambi, pembukaan lahan di kawasan gambut untuk kebun sawit,” kata Labay.

Masyarakat adat, lanjutnya, sejak dulu mengerti akan bahayanya lahan gambut jika dibuka untuk perladangan. Sehingga, tidak ada masyarakat adat sejak dulu membuka perladangan di kawasan gambut. “Mereka pun tahu bahayanya lahan gambut,” kata Labay.

Tokoh masyarakat Riau, Edyanus Halim juga menyebutkan hal yang sama. Menurut Edyanus masyarakat adat Riau justru mengharamkan pembukaan lahan di gambut.

“Masyarakat adat kita sejak dulu paling pantang membuka lahan digambut. Mereka buka perladangan untuk sekedar kebutuhan hidupnya. Bukan seperti sekarang buka lahan untuk kepentingan bisnis,” kata Edyanus yang juga akdemisi dari Universitas Riau itu.

Untuk sekedar diketahui, salah satu masyarakat adat di Riau adalah suku Talang Mamak yang hidup di dalam kawasan hutan. Ada lagi masyarakat suku pedalaman Sakai. Kedua suku tertua di Riau ini, merupakan masyarakat adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keramahan lingkungan. Karena memang mereka hidup dari keramahan hutan.

Baca juga cara menghambat kebakaran hutan dengan membakar hutan disini

This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at http://ift.tt/jcXqJW.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment